PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA SEJAK ZAMAN REFORMASI
Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa adanya orang
lain. Karena sifat dasar manusia adalah sebagai makhluk sosial. Manusia
membutuhkan interaksi, komunikasi, dan saling ketergantungan dengan
orang lain. Berdasarkan sifat dasar tersebut manusia membentuk
kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan yang sama, yang memiliki
kebutuhan yang sama dan dapat saling melengkapi. Oleh karena itu
muncullah sebuah kelompok sosial atau masyarakat. Karena adanya
interaksi, komunikasi, dan hubungan ketergantungan tersebut, maka
mustahil sebuah masyarakat akan selalu bersifat statis.
Perubahan-perubahan dalam kelompok sosial yang telah tersusun susunan
masyarakatnya adalah sebuah keniscayaan. Perubahan sosial adalah sesuatu
yang lazim terjadi. Bahkan semua fase dalam kehidupan bermasyarakat ini
mengalami perubahan yang terus menerus. Baik sadar maupun tanpa
disadari. Dari berabad-abad yang lalu, hingga sekarang terus terjadi
proses perubahan. Dan masa sekarang hingga masa yang akan datang akan
terus terjadi perubahan.
Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan sebutan Bung cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu (kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa Indonesia dengan dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan Yes’, bahkan kata-kata makian (umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion.
Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya barat (dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk Indonesia ) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan nilai-nilai ketimuran.
Ilmu pengetahuan menolak adanya sifat tertutup. Apa yang dianggap benar harus dapat dibuktikan (diverifikasi) secara terbuka di depan publik. Jika kita mengatakan bahwa air yang dipanaskan sampai 100 derajat celcius akan mendidih, maka dipersilakan semua orang untuk membuktikan fenomena tersebut. Karena itu kalangan akademisi harus memiliki sifat keterbukaan tersebut, kita harus dapat mengembangkan pengetahuan baru seperti konsep dan teori baru secara terbuka dan bukan untuk disembunyikan seperti dalam budaya konservatif. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan terhadap mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi mitologi budaya Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan menganggapnya sebagai segala galanya. Socrates sangat percaya bahwa akal manusia dapat menjadi sumber kebenaran. Maksud dari perlawanan ini bahwa ilmu pengetahuan mengembangkan watak rasionalitas dalam menjalankan proses pendidikan. Ditengah gejala kurang fokusnya orientasi pendidikan kita, pendidikan di negara kita juga dihinggapi oleh masalah masih minimnya tingkat kesejahteraan para pendidik (kaum guru) yang mengemban tugas meningkatkan kecerdasan anak bangsa. Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa yang dilabelkan kepada sosok guru telah membentuk kesadaran masyarakat tersendiri bahwa tugas guru hanya mencerdaskan bangsa tanpa mengurus kesejahteraannya sebagai manusia. Guru merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah dalam melakukan reorientasi pendidikan belum menyentuh substansi dasar pada pihak pendidik dan sarana prasarana belajar, selama ini pembaharuan baru ditunjukkan melalui perubahan perubahan kurikulum saja dan masih minim melakukan perbaikan sarana dan prasarana, kita bisa lihat di pedesaan banyaknya gedung gedung sekolah yang rusak dan kurang mendapat perhatian serius. Ada sesuatu yang krusial atas kompleknya permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang digariskan yaitu 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran saja, untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari RAPBN. Memang sebuah angka yang masih jauh dari kata cukup.
Keadaan Politik dan
Ekonomi
Pada
masa pasca reformasi tepatnya setelah tahun 1998, gambaran perekonomian
Indonesia mengalami kondisi yang cukup terpuruk dengan terjadinya inflasi dan
pemerintah tidak sanggup mengontrol mata uang asing yang beredar di Indonesia,
terutama mata uang Amerika Serikat, keadaan kas Negara dan bea cukai dalam
keadaan nihil, begitu juga dengan pajak. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa
pemerintah Indonesia mencari pinjaman dana dari luar negeri seperti Amerika,
tetapi semua itu tidak memberikan hasil dan malah memperburuk keadaan rakyat. Banyak
peristiwa yang mengakibatkan defisitnya keuangan negara salah satunya adalah
pejabat negara yang korupt. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh
pemerintah RI untuk mengatasi masalah ekonomi adalah menyelenggarakan
konferensi ekonomi dengan agenda utamanya adalah usaha peningkatan produksi
pangan dan cara pendistribusiannya, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan milik swasta/asing. Catatan 14 tahun terakhir
menunjukkan betapa kondisi sosial-ekonomi, politik, hukum dan budaya kian masuk
ke dalam suatu krisis multi-dimensional. Dengan demikian, dapat dimengerti
mengapa banyak masyarakat semakin kehilangan makna atas proses demokratisasi di
Indonesia, dan karenanya semakin tidak percaya dengan proses-proses politik yang
sedang berjalan atau mengalami krisis kepercayaan (distrust) terhadap
sistem politik, kepemimpinan politik, organisasi politik serta lembaga-lembaga
politik (formal mau pun non-formal). Kondisi ini paling tidak oleh sebagian
kalangan dikuatirkan akan menuju stagnasi politik, dengan demikian projek
reformasi pun akan gagal, yang ujungnya akan bisa menimbulkan krisis politik
dan ekonomi yang jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah dialami.
Harus diakui,
perubahan sistem politik di Indonesia yang berjalan sangat cepat sejak
reformasi 1998 tidak sepenuhnya berada di dalam kontrol kaum pergerakan, untuk
tidak dikatakan telah jatuh ke tangan kelompok ideologis lain. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa kekuatan liberal yang memasukkan ide-ide
liberalisasi politik sekaligus liberalisasi ekonomi, lebih dominan. Jika pun
terjadi sirkulasi kepemimpinan elit politik di negeri ini, sesungguhnya
perputaran itu sekaligus menyingkirkan kalangan “kiri” dan “sosial-demokrasi”,
meski ide reformasi sebetulnya digagas oleh kelompok ini. Berbagai alasan
penyebab bisa diuraikan, namun yang paling pokok adalah kegagalan membangun
organisasi strategis di dalam mengarahkan perubahan. Kaum kiri dan
sosial-demokrat, selain miskin inovasi di dalam menyusun skema organisasi
perjuangannya, juga gagal meyakinkan publik mengenai platform perjuangan yang
lebih praktikal. Kebiasaan berwacana di tataran “ideologi abstrak”
menyebabkannya tak begitu mendapatkan dukungan publik yang lebih luas, selain
persoalan-persoalan konflik internal yang tak berkesudahan. Oleh karena itu,
dengan gampang desain kaum liberal “diterima” menjadi desain baru sistem
politik Indonesia, sementara sistem ekonomi kapitalistik tinggal meneruskan
skema ekonomi Orde Baru dengan berbagai polesan kecil ditambah penetrasi ide
neoliberalisme ke dalam sistem ekonomi. Penguasaan yang lemah akan modal
sosial, finansial dan jaringan sosial-politik yang miskin, ditambah miskinnya
kreasi, mendorong kaum kiri dan sosial-demokrat berada di pinggiran.
Dalam posisi seperti
inilah kemudian format ketatanegaraan kita disusun, dimana dominasi kaum
liberal menjadi begitu dominan, selain kelompok pragmatis yang memang merupakan
pemain lama di dalam pentas politik dan ekonomi nasional, kita sebut saja sebagai
“broker politik dan ekonomi” suatu istilah yang mungkin secara akademik kurang
tepat. Tidak heran, bila kemudian arah reformasi sistem politik menjadi hampir
tidak terkawal. Perubahan konstitusi mau pun akibatnya terhadap perubahan
institusi dan norma perilaku berpolitik, kebijakan dan praktek politik
pemerintahan jauh dari apa yang dicita-citakan kaum kiri dan sosial-demokrat.
Keadaan sosial dan
budaya
Bagaimana kondisisosial budaya masyarakat Indonesia saat ini? Perlu di tarik sebuah benang merah
bahwa kita tidak bisa pungkiri arus globalisasi saat ini telah menimbulkan
pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia. Derasnya arus informasi
dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah
terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T
(Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya
keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri . Budaya Indonesia yang
dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya (meminjam
istilah Band Zamrud) yang `gaul` dan `fungky`. Media massa pernah memberitakan
tentang sepinya pengunjung untuk menonton kesenian di salah satu gedung
kesenian, padahal kesenian itu berasal dari Negeri kita sendiri. Cukup
memprihatinkan memang jika kita berusaha mencari jawabannya. Mungkin lebih
tepat kalau kita menilik terlebih dahulu pada selera atau apresiasi kita
masing-masing terhadap seni. Sebagian besar generasi muda sekarang ini sudah
tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap kesenian daerah. Padahal sebenarnya
seni itu indah dan mahal. Kesenian adalah aset Indonesia . Sebagai tunas muda
hendaknya memelihara seni budaya kita untuk masa depan anak cucu.
Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan sebutan Bung cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu (kamu). Selain itu kita sering dengar anak muda mengunakan bahasa Indonesia dengan dicampur-campur bahasa inggris seperti OK, No problem dan Yes’, bahkan kata-kata makian (umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion.
Gaya berpakaian
remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah
mengikuti perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota
besar memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu.
Budaya perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar
negri yang ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia . Derasnya
arus informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut serta
`menyumbang` bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat telah
menjadi trend dilingkungan anak muda. Boleh dikatakan bahwa budaya yang
merupakan sistem simbol dan norma dalam masyarakat Indonesia yang ada sekarang
ini macet. Kemacetan budaya ini karena masyarakat kurang mengantisipasi dengan
baik pengaruh globalisasi terhadap budaya bangsa sendiri. Lihat saja bagaimana
takjubnya kita dengan kesenian asal negeri barat. Kita seolah tidak menghargai
kesenian tradisional kita. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita kurang bisa
mengantisipasi masuknya budaya asing.
Dari penjelasan
diatas, jelaslah bahwa globalisasi telah membawa dampak yang negatif dalam
pelestarian budaya. Thomas Friedman dalam bukunya The Lexus and the OliveTree
(2000) menyatakan bahwa “ancaman globalisasi saat ini adalah globalisasi”.
Artinya sistem di dalam globalisasi itu sendiri menyimpan potensi penghancuran.
Ritme cepat globalisasi yang ditentukan oleh negara-negara maju pada gilirannya
telah menimbulkan dikotomi baru dalam hubungan antarnegara. Negara-negara yang
tidak mengikuti irama globalisasi dimasukkan ke dalam katagori negara
‘primitif’ atau `ketinggalan jaman`. Oleh sebab itu setiap negara
berlomba-lomba untuk mentransfer kemajuan ilmu dan teknologi dari negara-negara
Barat.
Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya barat (dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk Indonesia ) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan nilai-nilai ketimuran.
Keadaan Pendidikan
Lalu seperti apa
kondisi pendidikan Indonesia hari ini? Proses globalisasi telah membuat
perubahan yang besar dalam lapangan ekonomi dan politik, karena itu mau tidak
mau juga akan menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam bidang pendidikan
baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Saat sekarang terjadi
reorientasi pendidikan baik pada tingkat kelembagaan, kurikulum maupun
manajemen sesuai dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam
proses globalisasi tersebut.
- Pendidikan Mahal
Pepatah kaum
kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan pagi yang gratis”. Tampaknya
pepatah ini mulai digunakan oleh beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia
dalam menjalankan visi pendidikannya. Beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
memasang tarif yang gila-gilaan, akibatnya sebagian besar orang tua dan anak
anak lulusan SMA menjadi kelimpungan. Impian untuk dapat mengenyam pendidikan
di PTN favorit seakan dihadang ranjau yang membahayakan masa depannya. Ada
sebuah fenomena menarik dikalangan PTN besar dan favorit di Indonesia yang
terkesan “money oriented”, hanya bersifat materialistis belaka, yang hanya
dengan sebuah argumentasi bahwa subsidi dari pemerintah/negara untuk PTN minim
sekali dan tidak dapat memenuhi kebutuhan PTN. PTN ini telah membuat kebijakan
pembayaran uang kuliah yang sulit dijangkau masyarakat umum, tanpa mau berpikir
panjang mencari sumber sumber dana alternatif selain “memeras” mahasiswanya.
Pihak PTN berpikir
bahwa kampus yang mereka kelola sangat marketable sehingga merekapun mengikuti
hukum ekonomi, “biaya tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang cukup
dilematis, disatu sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan
kemampuan atau kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat
telah dibelenggu oleh biaya pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah hanya
kaum yang berduitlah yang mampu menyekolahkan anaknya Liberalisasi pendidikan
terutama pada perguruan tinggi yang dipromosikan oleh WTO (World Trade
Organization) sebetulnya dibungkus dengan sesuatu yang positip yakni agar
lembaga pendidikan asing bisa memacu peningkatan mutu pendidikan di Indonesia
namun realitas dilapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan cita cita awalnya. Pendidikan
tinggi di Indonesia semakin mahal sehingga semakin menjauhkan masyarakat
menengah ke bawah untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri
favorit yang murah.
- Pendidikan Tidak Terfokus
Pendidikan di
Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri pendidikan maka
ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya. Pendidikan di Indonesia kurang
membentuk kepribadian akademis (academic personality) yang utuh. Kepribadian
akademis sangat penting dimiliki oleh pelaku pendidikan (anak didik dan
pendidik) yang akan maupun yang sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian
akademislah yang dapat membedakan pelaku pendidikan dengan masyarakat umum
lainnya. Perkembangan pendidikan di Indonesia tak ubahnya seperti industri,
pendidik hanya bertindak sebagai pencetak produk masal yang seragam tanpa
memikirkan dunia luar yang berubah menjadi lebih rumit. Cara pendidik mengajar
juga cenderung mengarah pada pembentukan generasi muda yang dingin dan
mengagungkan individualisme. Diskusi yang bersifat dialog jarang terjadi dalam
proses pendidikan kita, bersuara kadangkala diartikan keributan yang dikaitkan
dengan tanda bahwa anak yang bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap
bodoh. Kondisi pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat
kurang kondusif dan kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang
baik muncul dalam lingkungan kampus. Konflik antar mahasiswa atau pimpinan
lembaga pendidikan tinggi telah terjadi di beberapa kampus, sehingga citra
lembaga pendidikan tinggi agak mengalami kemunduran. Tampaknya pendidikan di
Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan watak dari ilmu pengetahuan yang
bersifat terbuka.
Ilmu pengetahuan menolak adanya sifat tertutup. Apa yang dianggap benar harus dapat dibuktikan (diverifikasi) secara terbuka di depan publik. Jika kita mengatakan bahwa air yang dipanaskan sampai 100 derajat celcius akan mendidih, maka dipersilakan semua orang untuk membuktikan fenomena tersebut. Karena itu kalangan akademisi harus memiliki sifat keterbukaan tersebut, kita harus dapat mengembangkan pengetahuan baru seperti konsep dan teori baru secara terbuka dan bukan untuk disembunyikan seperti dalam budaya konservatif. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan terhadap mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi mitologi budaya Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan menganggapnya sebagai segala galanya. Socrates sangat percaya bahwa akal manusia dapat menjadi sumber kebenaran. Maksud dari perlawanan ini bahwa ilmu pengetahuan mengembangkan watak rasionalitas dalam menjalankan proses pendidikan. Ditengah gejala kurang fokusnya orientasi pendidikan kita, pendidikan di negara kita juga dihinggapi oleh masalah masih minimnya tingkat kesejahteraan para pendidik (kaum guru) yang mengemban tugas meningkatkan kecerdasan anak bangsa. Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa yang dilabelkan kepada sosok guru telah membentuk kesadaran masyarakat tersendiri bahwa tugas guru hanya mencerdaskan bangsa tanpa mengurus kesejahteraannya sebagai manusia. Guru merupakan faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah dalam melakukan reorientasi pendidikan belum menyentuh substansi dasar pada pihak pendidik dan sarana prasarana belajar, selama ini pembaharuan baru ditunjukkan melalui perubahan perubahan kurikulum saja dan masih minim melakukan perbaikan sarana dan prasarana, kita bisa lihat di pedesaan banyaknya gedung gedung sekolah yang rusak dan kurang mendapat perhatian serius. Ada sesuatu yang krusial atas kompleknya permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang digariskan yaitu 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran saja, untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari RAPBN. Memang sebuah angka yang masih jauh dari kata cukup.
- Pendidikan Yang Membebaskan
Meminjam pendapat
seorang tokoh terkenal di bidang pendidikan dari negara Brazil yakni Paulo
Friere dalam bukunya berjudul Pedegogy of Hope yang mengatakan bahwa
“tujuan pendidikan hendaknya bukan berpihak kepada partai ini atau partai itu,
juga bukan kepada agama ini atau agama itu yang sectarian atau ideologis,
melainkan pendidikan harus ditujukan untuk pembebasan yakni agar orang mampu
secara beradab menentukan pilihannya”. Kita mengenang pikiran Rene Descartes
yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada” dengan demikian,
kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita memiliki pengetahuan. Dari
kesadaran itu kemudian muncul pemahaman tentang nilai-nilai, dimana kita
memiliki kebebasan untuk memberikan pengertian terhadap istilah yang dibuat
dengan menggunakan kebebasan berpikir yang disertai dengan rasio. Kondisi
pendidikan di Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran
peserta didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat
dominan dan otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam
“mengacak-acak” kurikulum harus dikaji secara cermat, kalaupun itu harus
dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan aspirasi secara
demokratis. Segenap komponen bangsa harus turut melakukan pembenahan
sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran individu dalam
rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan mengedepankan etika dan norma di
masyarakat dapat diwujudkan, hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal
di bangku sekolah dan juga pendidikan non formal sebagai metode pendampingan
masyarakat luas dalam proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan
secara kontinyu, karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang
intelektual tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita
sosial di masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya.
Pemerintah dan lembaga politik lainnya harus memiliki komitmen untuk terus berupaya
meningkatkan anggaran bagi dunia pendidikan di Indonesia sehingga angka 30%
dapat segera terealisasikan. Dengan ketatnya persaingan dewasa ini, arah
pendidikan di Indonesia harus mampu berperan menyiapkan peserta didik dalam
konstelasi masyarakat global dan pada waktu yang sama, pendidikan juga memiliki
kewajiban untuk melestarikan national
character dari bangsa Indonesia.
Sekian yang dapat Saya sampaikan, mohon maaf bila ada kesalahan dan kekurangan lainnya. Informasi atau penjelasan yang dipaparkan di blog ini Saya dapatkan dari berbagai sumber.
Sekian yang dapat Saya sampaikan, mohon maaf bila ada kesalahan dan kekurangan lainnya. Informasi atau penjelasan yang dipaparkan di blog ini Saya dapatkan dari berbagai sumber.
Comments
Post a Comment